Sejarah Suku Baduy: Asal Mula, Ciri Rumah, hingga Perbedaan

 

Banten – Suku Baduy, salah satu suku pedalaman Indonesia yang berada di Banten meminta daerahnya terbebas dari jaringan internet. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif dari penggunaan dunia maya.

Permintaan itu disampaikan Tetua adat Baduy melalui surat yang ditandatangani oleh Tangtu Tilu Jaro Tujuh, Wakil Jaro Tangtu, Tanggungan Jaro 12, Wakil Jaro Warega, serta diketahui oleh Jaro Pamarentah atau Kepala Desa Kanekes.

Sebuah permintaan yang harus dihargai demi menjaga keaslian adat istiadat leluhur dan kearifan lokal.

Suku Baduy memang dikenal sebagai suku yang tertutup akan budaya mereka dan menolak adanya modernisasi.

Mereka memiliki identitas sangat mencolok serta keunikan budaya dan tradisi adat istiadat yang masih dipegang teguh hingga sekarang.

Menariknya, meskipun letak suku Baduy berdekatan dengan hirup pikuk perkotaan, mereka tetap memegang teguh kebudayaan leluhur. Mereka memilih mengisolasi dari dunia luar dan menolak modernisasi budaya luar.

Dilansir dari beberapa sumber, dijelaskan bahwa suku Baduy berasal dari suku Sunda asli dan telah ada sejak 5 abad lalu.

Mereka menetapkan satu wilayah keramat yang diebut “Tanah Kenekes” dan menamai diri mereka sebagai “Orang Kajeroan” yang artinya Baduy Dalam.

Masyarakat Kanekes atau yang sering kita sebut dengan Masyarakat Baduy secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu Tangtu, Panamping, dan Dangka.

Kelompok Tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.

Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes sangat beragam.

Berdasarkan beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda.

Namun, Kanekes sendiri menolak jika dikatakan mereka berasal dari orang-orang pelarian Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.

Namun, Kanekes sendiri menolak jika dikatakan mereka berasal dari orang-orang pelarian Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.

Beberapa pengamat menjelaskan, orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha.

Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928 ikut menyangkal teori orang Kanekes berasal dari Kerjaan Sunda.

Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar.

Adapun Perbedaan Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar
Mengutip dari laman dispar.bantenprov.go.id, perbedaan suku Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat terlihat dari tradisi dan norma adat yang berlaku di dalamnya.

Baduy Luar secara tradisi dan norma telah dipengaruhi oleh modernisasi.

Untuk menunjang kehidupan sehari-hari, Ketua Adat atau yang biasa disebut Jaro mengizinkan warganya menggunakan barang-barang elektronik.

Mereka juga umumnya lebih terbuka dan mau menerima tamu dari luar kota bahkan mancanegara untuk menginap di rumah mereka.

Sementara, masyarakat Baduy Dalam cenderung lebih tertutup dan menolak pengaruh budaya luar. Mereka memegang teguh konsep pikukuh, sebuar aturan adat yang isi terpentingnya mengenai menjadi apa adanya.

Aturan ini diterapkan secara mutlak dalam keseharian sehingga banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan.

Perbedaan mencolok juga terlihat dari cara berpakaian. Baju keseharian masyarakat Baduy dalam umumnya dominan berwarna putih, meski kadang bagian celana saja yang berwarna hitam atau biru tua.

Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar.

Sementara Baduy Luar, mengenakan baju serba hitam atau biru tua. Hal ini melambangkan bahwa masyarakat Baduy Luar telah terpengaruhi dengan budaya modern.

Hingga saat ini, masyarakat Baduy tidak menggunakan transportasi apapun dan hanya berjalan kaki untuk berpergian, tidak menggunakan alas kaki, tidak berpergian lebih dari tujuh hari keluar dari Baduy, membangun segala kebutuhan seperti rumah, jembatan dan lainnya dengan memanfaatkan alam.

Serta mereka memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya sendiri dengan menenun atau bercocok tanam.(Red)